PRASYARAT TEGAKNYA HUKUM
1. Hukum Dibuat Untuk Ditegakkan Pembangunan hukum seringkali dipersempit maknanya hanya dalam konteks pembuatan hukum. Banyak orang yang berorientasi membangun hukum hanya dengan membuatnya. Urusan penegakan hukum, tidaklah dianggap sebagai tangungjawab pembuatnya. Akibatnya, para ‘legislator’ dan ‘regulator’ berbuat maksimal tanpa merasa perlu mempertimbangkan apakah aturan yang dibuatnya dapat atau tidak akan dapat ditegakkan dalam kenyataan praktek. Kecenderungan demikian ini memang sering terjadi di lingkungan negara-negara yang menganut tradisi ‘civil law’ yang mengutamakan pembuatan peraturan yang tertulis oleh lembaga parlemen (legislator)
2. Syarat-Syarat Materi Hukumnya
Untuk dapat diterima dan ditaati secara luas, norma hukum haruslah memenuhi syarat-syarat juridis yang sah (legal), syarat-syarat politik yang absah (legitimate)[2], dan syarat-syarat-syarat sosiologis yang kuat. Pertama, legalitas suatu norma hukum secara juridis mencakup tiga syarat, yaitu: (i) bahwa norma hukum yang bersangkutan tidak bertentangan dengan norma yang lebih tinggi[3], (ii) norma hukum yang bersangkutan ditetapkan menurut prosedur yang sah untuk itu[4], dan (iii) norma hukum yang bersangkutan ditetapkan oleh lembaga yang memang berwenang untuk itu. Kedua, legitimasi norma hukum yang bersangkutan secara politik mencakup dua syarat, yaitu: (i) bahwa norma hukum yang bersangkutan mendapat dukungan opini publik atau wacana dominan (dominant public discourse) dalam masyarakat[5]. Biasanya dukungan ini ditandai oleh dukungan yang tercermin dalam pemberitaan media massa, suara kalangan universitas, dan kalangan aktifis organisasi non-pemerintah; (ii) bahwa norma hukum yang bersangkutan mendapat dukungan mayoritas suara partai politik yang tercermin dalam suara mayoritas anggota parlemen; Ketiga, dukungan sosiologis masyarakat luas terhadap norma hukum yang bersangkutan mencakup tiga syarat berikut: (i) bahwa norma hukum yang bersangkutan diketahui dan dimengerti oleh para subjek hukumnya[6]; (ii) bahwa norma hukum yang bersangkutan diakui adanya dan daya ikatnya oleh para subjek hukum yang bersangkutan[7]; (iii) bahwa norma hukum itu diterima[8] sebagai pedoman perilaku oleh para subjek hukumnya, karena memang sesuai dengan perasaan keadilan yang dianutnya;
3. Syarat-syarat Aparatur Penegak Hukumnya:
Meskipun materi hukumnya sudah memenuhi syarat, tetapi aparatur penegaknya tidak dapat diharapkan bekerja efektif, tetap tidak mudah bagi kita mengharapkan hukum dapat tegak sebagaimana mestinya. Karena itu, peranan aparatur penegak hukum betapapun juga haruslah dianggap sangat penting. Ada dua aspek penting yang tercakup dalam perkataan aparatur, yaitu: (i) institusinya, dan (ii) sumberdaya manusianya atau aparat (actor). Berfungsi efektifnya aparatur penegakan hukum tergantung pada aparat dan derajat pelembagaan institusi aparatur penegakan hukum itu sendiri.
kewarganegaraan
Rabu, 09 Maret 2011
Mafia Merajarela di indonesia
Mafia Hukum di sini lebih dimaksudkan pada proses pembentukan Undang-undang oleh Pembuat undang-undang yang lebih sarat dengan nuansa politis sempit yang lebih berorientasi pada kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Bahwa sekalipun dalam politik hukum di Indonesia nuansa politis dalam pembuatan UU dapat saja dibenarkan sebagai suatu ajaran dan keputusan politik yang menyangkut kebijakan publik, namun nuansa politis di sini tidak mengacu pada kepentingan sesaat yang sempit akan tetapi “politik hukum” yang bertujuan mengakomodir pada kepentingan kehidupan masyarakat luas dan berjangka panjang.Sebagai contoh kecil lahirnya Undang-undang Ketenagakerjaan No.25 tahun 1997 yang mulai diberlakukan pada tanggal 01 Oktober 2002 ( berdasarkan Perpu No.3 tahun 2000 yang telah ditetapkan sebagai UU berdasarkan UU No. 28 tahun 2000), namun belum genap berumur 6 bulan UU tersebut berlaku UU tersebut telah dicabut pada tanggal 25 Maret 2003 dengan diundangkan lagi UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengganti UU No.25 tahun 1997.
Silih bergantinya undang-undang yang mengatur ketenagakerjaan di Indonesia tidak dapat lepas dari adanya kekuatan tarik-menarik kepentingan antara kepentingan tenaga kerja dengan kepentingan para Pengusaha yang konon kepentingan para Pengusaha tersebut diperjuangkan melalui mereka yang sekarang disebut sebagai “Politisi Busuk”.
Dan pada akhirnya sudah dapat ditebak keberadaan UU No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan tersebut dalam praktiknya lebih memihak kepada kalangan Pengusaha. Banyak lagi perundang-undangan kita lainnya yang mengalami nasib senada dengan itu, dan itu semua terjadi karena faktor politis yang bertujuan sempit dari para Pembuat undang-undang.
Sedang Mafia Peradilan di sini lebih dimaksudkan pada hukum dalam praktik yang ada di tangan para Penegak Hukum dimana secara implisit “hukum dan keadilan” telah berubah menjadi suatu komoditas yang dapat diperdagangkan.
Hukum dan keadilan menjadi barang mahal di negeri ini. Prinsip peradilan yang cepat, biaya ringan dan sederhana sulit untuk ditemukan dalam praktik peradilan. Di negeri ini Law Enforcement diibaratkan bagai menegakkan benang basah kata lain dari kata “sulit dan susah untuk diharapkan”.
Salah satunya yang mempersulit penegakan hukum di Indonesia adalah maraknya “budaya korupsi” di semua birokrasi dan stratifikasi sosial yang telah menjadikan penegakan hukum hanya sebatas retorika yang berisikan sloganitas dan pidato-pidato kosong.
Bahkan secara faktual tidak dapat dipungkiri semakin banyak undang-undang yang lahir maka hal itu berbanding lurus semakin banyak pula komoditas yang dapat diperdagangkan. Ironisnya tidak sedikit pula bagian dari masyarakat kita sendiri yang berminat sebagai pembelinya. Di sini semakin tanpak bahwa keadilan dan kepastian hukum tidak bisa diberikan begitu saja secara gratis kepada seseorang jika disaat yang sama ada pihak lain yang menawarnya.
Tapi agaknya para Penegak Hukum, Politisi, Pejabat dan Tokoh-Tokoh tertentu dalam masyarakat kita tidak akan punya waktu dan ruang hati untuk dapat mengubris segala bentuk sindiran yang mempersoalkan eksistensi pekerjaan dan tanggungjawab publiknya, jika sindiran itu bakal mengurangi rejekinya. Buruknya proses pembuatan undang-undang dan proses penegakan hukum yang telah melahirkan stigmatisasi mafia hukum dan mafia peradilan di Indonesia, yang kalau kita telusuri keberadaannya ternyata mengakar pada kebudayaan mentalitas kita sebagai suatu bangsa.
Sehingga apa yang disebut dengan mafia hukum dan mafia peradilan eksistensinya cenderung abadi karena ia telah menjadi virus mentalitas yang membudaya dalam proses penegakan hukum di negeri ini. Sehingga berbicara tentang Law Enforcement di Indonesia tidaklah bisa dengan hanya memecat para Hakim, memecat para Jaksa dan memecat para Polisi yang korup, akan tetapi perbaikan tersebut haruslah dimulai dengan pembangunan pendidikan dengan pendekatan pembangunan kebudayaan mentalitas kita sebagai suatu bangsa dan membangun moral force serta etika kebangsaan yang kuat berlandaskan pada Iman dan Taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Silih bergantinya undang-undang yang mengatur ketenagakerjaan di Indonesia tidak dapat lepas dari adanya kekuatan tarik-menarik kepentingan antara kepentingan tenaga kerja dengan kepentingan para Pengusaha yang konon kepentingan para Pengusaha tersebut diperjuangkan melalui mereka yang sekarang disebut sebagai “Politisi Busuk”.
Dan pada akhirnya sudah dapat ditebak keberadaan UU No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan tersebut dalam praktiknya lebih memihak kepada kalangan Pengusaha. Banyak lagi perundang-undangan kita lainnya yang mengalami nasib senada dengan itu, dan itu semua terjadi karena faktor politis yang bertujuan sempit dari para Pembuat undang-undang.
Sedang Mafia Peradilan di sini lebih dimaksudkan pada hukum dalam praktik yang ada di tangan para Penegak Hukum dimana secara implisit “hukum dan keadilan” telah berubah menjadi suatu komoditas yang dapat diperdagangkan.
Hukum dan keadilan menjadi barang mahal di negeri ini. Prinsip peradilan yang cepat, biaya ringan dan sederhana sulit untuk ditemukan dalam praktik peradilan. Di negeri ini Law Enforcement diibaratkan bagai menegakkan benang basah kata lain dari kata “sulit dan susah untuk diharapkan”.
Salah satunya yang mempersulit penegakan hukum di Indonesia adalah maraknya “budaya korupsi” di semua birokrasi dan stratifikasi sosial yang telah menjadikan penegakan hukum hanya sebatas retorika yang berisikan sloganitas dan pidato-pidato kosong.
Bahkan secara faktual tidak dapat dipungkiri semakin banyak undang-undang yang lahir maka hal itu berbanding lurus semakin banyak pula komoditas yang dapat diperdagangkan. Ironisnya tidak sedikit pula bagian dari masyarakat kita sendiri yang berminat sebagai pembelinya. Di sini semakin tanpak bahwa keadilan dan kepastian hukum tidak bisa diberikan begitu saja secara gratis kepada seseorang jika disaat yang sama ada pihak lain yang menawarnya.
Tapi agaknya para Penegak Hukum, Politisi, Pejabat dan Tokoh-Tokoh tertentu dalam masyarakat kita tidak akan punya waktu dan ruang hati untuk dapat mengubris segala bentuk sindiran yang mempersoalkan eksistensi pekerjaan dan tanggungjawab publiknya, jika sindiran itu bakal mengurangi rejekinya. Buruknya proses pembuatan undang-undang dan proses penegakan hukum yang telah melahirkan stigmatisasi mafia hukum dan mafia peradilan di Indonesia, yang kalau kita telusuri keberadaannya ternyata mengakar pada kebudayaan mentalitas kita sebagai suatu bangsa.
Sehingga apa yang disebut dengan mafia hukum dan mafia peradilan eksistensinya cenderung abadi karena ia telah menjadi virus mentalitas yang membudaya dalam proses penegakan hukum di negeri ini. Sehingga berbicara tentang Law Enforcement di Indonesia tidaklah bisa dengan hanya memecat para Hakim, memecat para Jaksa dan memecat para Polisi yang korup, akan tetapi perbaikan tersebut haruslah dimulai dengan pembangunan pendidikan dengan pendekatan pembangunan kebudayaan mentalitas kita sebagai suatu bangsa dan membangun moral force serta etika kebangsaan yang kuat berlandaskan pada Iman dan Taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Langganan:
Komentar (Atom)